Pneumonia Dan KDK
Pneumonia Dan KDK
Pneumonia Dan KDK
1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirologi Sistem Respirologi dibagi 2 bagian, yaitu: traktus respitorius bagian atas yang terdiri dari hidung, nasofaring, sinus, dan laring. Kedua traktus respitorius bawah yang terdiri dari trachea, bronchus, bronchioles dan alveoli.8 Trakea Trakea adalah tabung terbuka berdiameter 2,5 cm dan panjang 10-12 cm yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda (hurup C), dengan bagian terbuka mengarah ke posterior (oesofagus ). Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia yang hanya dapat bergerak kearah luar dan sel golbet yang menghasilkan mucus bersama-sama berfungsi menyapu partikel yang berhasil lolos dari saringan hidung, kearah farins untuk kemudian ditelan atau diludahkan atau dibatukkan. Potongan melintang trakea khas berbentuk huruf D.8 Bronchus Trakea bercabang menjadi bronchus utama (primer) kiri dan kanan. Bronchus kanan bercabang menjadi bronchus (sekunder) lobus atas dan bawah. Setiap bronchus lobaris bercabang lagi menjadi bronchus tersier (segmental). Setelah 9-12 generasi percabangan, ukuran saluran telah mengecil sampai diameter 1 mm. Saluran ini disebut bronchiolus yang turut menyusun lobus paru. Bronchiolus memasuki lobulus pada bagian puncaknya, bercabang- cabang lagi
membentuk 4-7 bronchiolus terminalis yang masing-masing bercabang lagi menjadi 2 bronchiolus respitorius, bagian ini bercabang lagi lebih dari 3 kali duktus alveolaris yang lebih lanjut masih dapat bercabang 2 sebelum menjadi sakus alveolaris dan alveoli. Pertukaran gas berlangsung mulai dari bronchiolus respiratorius sampai alveoli. 8 Paru-paru Paru-paru adalah organ berbentuk piramid seperti spon dan berisi udara terletak dalam rongga dada. Paru kanan memiliki tiga lobus (lobus dextra superior, lobus dextra media, lobus dextra inferior) dan paru kiri memiliki dua lobus (lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior). Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama sebuah permukaan diafragmatik (bagian dasar) terletak di atas diafragma sebuah permukaan mediastinal (medial) yang terpisah dan paru lain oleh mediastinum dan permukaan kosta terletak diatas kerangka iga. Permukaan mediastinal memiliki hilus, bronchial dan paru. 8 Pleura Pleura adalah sebuah membran yang membungkus setiap paru. Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, midiastinum). Pleura visceral melapisi paru dan bersambungan dengan pleura parietal dibagian bawah paru. Rongga pleura (ruang intrapleura) adalah ruang potensial antara pleura parietal dan visceral yang mengandung lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini disekresi oleh sel-sel pleura sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi. Tekanan cairan (tekanan intrapleura) agak negatif di
alveoli-kapiler memisahkan oksigen dihirup melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trachea dan pipa bronchial ke alveoli dan berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonalis. Oksigen dari darah menembus membran ini dan diambil oleh sel-sel darah merah dan dibawa ke jantung yang kemudian dipompakan melalui arteri keseluruh bagian tubuh. Darah meninggalkan paru- paru pada tekanan oksigen 100 mm Hg dan pada tingkat ini kadar sel darah merah 95 % oksigen jenuh. 8
A.2 Definisi Bronchopneumonia Bronchopneumonia merupakan inflamasi yang sering terjadi pada paru, sering disebut dengan pneumonia bronchial atau pneumonia lobular. Inflamasi dapat terjadi dari bronkus, bronkiolus dan menyebar secara ireguler pada peribronchiolar alveoli and alveolar duct. Hasilnya inflamasi dapat berubah
menjadi konsolidasi yang terlokalisir pada bronkiolus dan sekitar alveoli paru.1,6
A.3 Epidemiologi Bronkopneumonia Penelitian di Rumah Sakit Norwegia (2011) dengan sampel anak yang berusia kurang dari 16 tahun per 10.000 populasi pada tahun 2003 hingga 2005 didapatkan angka insidensi sebesar 14,7 pada anak yang berusia 0-16 tahun, 32,8 pada usian 0-5 tahun dan 42,1 pada usia 0-2 tahun. Pada penelitian PRIDE (Paediatric Respiratory Infection in Germany) dari 2386 anak, didapatkan 114
mengalami pneumonia. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan berkurang dengan meningkatnya umur.4
A.4 Etiologi Bronkopneumonia Faktor Infeksi 1. Bakteri a. Pneumococcus, penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa disebabkan oleh penumokokus 1 8 (pada anak anak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur. b. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh pneumokokus.9 2. Virus Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus sitomegalik. 9 3. Aspirasi Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing. 9 4. Pneumonia Hipostatik Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan radang. Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus diubah ubah posisi tidurnya. 9
Koksidiomikosis, Aspergilosis dan Aktinimikosis. 9 6. Sindrom Loeffler Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes. 9 Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan. Untuk pengobatan tepat, pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali, sehingga pembagian etiologis lebih rasional daripada pembagian anatomis. 9 o Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus(RSV). o Pada bayi : Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis. o Pada anak-anak : Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa. o Pada anak besar dewasa muda : Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis. 9 Faktor Non Infeksi. Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi : 9
1. Bronkopneumonia hidrokarbon : Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin). 2. Bronkopneumonia lipoid : Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
A.5 Patofisiologi Bronkopneumonia Pada keadaan sehat setiap individu, mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam mencapai bronkhiolus atau paru-paru dikeluarkan melalui beberapa mekanisme pertahanan diri seperti refleks batuk dan apa bila lolos dari mekanisme pertahanan tersebut, maka mikroorganisme akan dihadang oleh sistem imun. Respon ini diperankan oleh limfosit yang melibatkan sel-sel darah putih
10
lainnya misalnya makrofag, neutrofil dan sel mast yang tertarik ke daerah tempat proses peradangan berlangsung.2 Pada individu yang rentan terhadap penyakit, mikroorganisme patogen yang masuk kedalam tubuh berusaha memperbanyak diri dan mengeluarkan toxin dan endotoxin yang bersifat merusak sehingga reaksi antigen-antibodi dan endotoxin yang dilepaskan oleh beberapa mikro organisme merusak membran mukosa parenkrim paru dan membentuk bercak-bercak infiltrat yang
menyebabkan kegagalan pertukaran gas. Pasien akan mengalami kesukaran bernapas sehingga pernapasan akan menjadi cepat, adanya tarikan dinding dada kedalam, pernapasan cuping hidung, suara napas stridor akibat penumpukan sekret di bronkhus dan karena suplai oksigen kejaringan kurang akan menyebabkan sianosis. 2 Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet). Pneumococcus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer : 2 1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring. 2. Inhalasi aerosol yang infeksius. 3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang
11
terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :2 1. Susunan anatomis rongga hidung 2. Jaringan limfoid di nasofaring 3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut 4. Refleks batuk 5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi 6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional 7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A 8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: 2 a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
12
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. b. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. c. Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
13
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. d. Stadium IV (7 12 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
A.6 Gejala Klinis Bronkopneumonia Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 3940C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Tanda-tanda klinis utama dari bronkopneumonia merupakan manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam tinggi, sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu, dispnea, napas cuping hidung, sesak napas, air hunger, merintih, dan sianosis. Yang paling khas dari bronkopneumonia adalah gambaran radiologis berupa bercak konsolidasi yang menyebar di daerah bronkiolus atau sekitar alveolus.1 A.7 Penegakkan Diagnosis Bronkopneumonia Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang.1,9 Pemeriksaan fisik
14
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.9 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 9 1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 40.000/ mm3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma. 2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun. 3. Peningkatan LED. 4. Kultur dahak dapat positif pada 20 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab). 5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik Pemeriksaan Rontgen Toraks 9 Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
15
pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut pneumonia dibedakan berdasarkan : 7 1. Pneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. 2. Pneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. 3. Pneumonia : Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat : - > 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan - > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan 1 tahun - > 40 x/menit pada anak usia 1 5 tahun 4. Bukan Pneumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
16
A.7 Penatalaksanaan Bronkopneumonia Indikasi rawat inap pada bronkopneumonia :7 Penderita tampak toksik Umur kurang dari 6 bulan Distres pernapasan berat Hipoksemia (saturasi okosigen kurang dari 92-94% pada kondisi ruangan) Dehidrasi atau muntah Terdapat efusi pleura atau abses paru Kondisi imunokompromais Ketidakmampuan orang tua untuk merawat Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan Pasien membutuhkan pemberian antiboitika secara parental Pada penderita yang dirawat, penatalaksanaan dibagi atas, penatalaksanaan umum dan pengobatan kausal.7 A. Penatalaksanaan Umum 7 Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker Pemberian cairan, yang adekuat. Cairan rumatan diberikan
mengandung gula dan eliktrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai bert badan dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak berat dapat dipusakan, sesak berkurang, asupan oral dapt diberikan. - Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misal hipoglikemia, metabolic asidosis
17
- Mengatasi penyakit pernyerta seperti kejang demam dan diare B. Pengobatan causal 7 Golongan betalaktam (penilisin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam) merupakan jeni jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sperti Streptococcus pneumoniae influenza dam Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan sefaloporin sebagai pilihan, terutama apabila penyebabanya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin. Pada keadaaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3. Tabel 1. Pilihan penggunaan antibiotika pada pneumonia 7
Dugaan Kuman Umur Penyebab - Enterobacteriace (Escherichia Colli,Klebsiella, Enterobacter) - Streptococcus pneumoniae Pilihan antibiotik Rawat inap - Kloksasilin aminoglikosida (gentamisin, netromisin, iv dan Rawat jalan -
<3 bln
ceftriaxon,
18
aminoglikosida iv/im 3 bln5 thn - Streptococcus pneumoniae - Staphylococcus aureus - Haemophyllus influenzae - Ampisilin iv dan - Amoksisilin atau
kloramfenikol iv atau
- Ampisilin dan Kloksasilin iv - Kloksasilin atau atau - Sefalosporin (sefotaksim, gen 3 iv - Amoksilin asam klavulanik atau
seftazidim,cefuroksim) atau - Klaritromisin - Meropenem iv dan atau - Azitromisin atau - Sefalosporin oral (sefixim,
aminoglikosida iv/im
sefaklor) >5 thn - Streptococcus pneumoniae - Mycoplasma pneumoniae - Clamydia pneumoniae - Ampisilin iv atau - Eritromisin po atau - Klaritromisin po atau - Azitromisin po atau - Kotrimoksasol po atau - Sefalosporin gen 3 iv - Amoksilin atau - Eritromisin atau - Klaritromisin po atau - Azitromisin atau - Kotrimoksasol po atau - Sefalosporin oral (sefixim,sefaklo) po po
A.8 Pencegahan Bronkopneumonia Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
19
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainlain. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. Influenza, vaksinasi varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah.9
A.8 Komplikasi Bronkopneumonia Dengan antibiotik, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi yang dapat dijumpai : Empiema dan OMA. Komplikasi lain ialah seperti Meningitis, Perikarditis, Osteomielitis, peritonitis lebih jarang dilihat.9
A.9 Prognosis Bronkopneumonia Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi. Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai. 9
20
B. KEJANG DEMAM KOMPLEKS B.1 Definisi KDK Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis) adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,5oC tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya. Kejang demam biasa terjadi pada anak dengan usia antara 6 bulan hingga 5 tahun. 10,11 Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya.12 Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang ( Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam). 12
B.2 Faktor Risiko KDK Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan caira dan elektrolit.13
21
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam.10
B.3 Etiologi KDK Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.12
B.4 Patofisiologi KDK Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adala glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sitem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.9 Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
22
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. 9 Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 9 1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.9 Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
23
kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
9
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. 9 Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
24
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.9
B.5 Manifestasi Klinis KDK Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:7 1. Kejang lama > 15 menit 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.10 Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.9
25
Serangan kejang demam berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral dan dapatjuga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jamsampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.9
B.6 Diagnosa KDK Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain: 9,13 1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: - Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat. - Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C. - Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia < 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam
26
keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akompleks. 2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah: - Suhu tubuh mencapai 39C. - Kejang lama > 15 menit - Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial - Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam 3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari.
B.8 Penatalaksanaan KDK Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:10 1. Pengobatan fase akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
27
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal. 10 2. Mencari dan Mengobati Penyebab Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 12 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur 12-18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab. 10 3. Pengobatan Profilaksis Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat). 10 Ada 3 upaya yang dapat dilakukan: 10 - Profilaksis intermitten, pada waktu demam. - Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari - Mengatasi segera bila terjadi kejang.
28
Profilaksis intermitten Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia. 10 Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16 mgug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. 10
29
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada keadaan berikut: 10 1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy, retardasi mental, mikrosefali). 2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti kelainan neurologis sepintas atau menetap. 3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut: 10 1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping 2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak 3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya. 4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari. 5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar dapat ditangani lebih lanjut.
30