Uggadhammo
Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo adalah tokoh agama Buddha Indonesia yang dikenal sebagai tokoh Buddhayana, yaitu agama Buddha yang berkepribadian Indonesia serta bertakwa kepada Sanghyang Adi Buddha. Ia sempat menjabat sebagai ketua Sangha Tantrayana Indonesia serta wakil ketua Sangha Agung Indonesia.[1] Menurutnya, Buddhayana bukanlah sekte, aliran, atau mashab, tetapi wadah dari berbagai sekte dan aliran Buddha yang disesuaikan dengan kepribadian Indonesia serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ia berkata:
Uggadhammo | |
---|---|
Lahir | Ambarawa, Jawa Tengah, Hindia Belanda | 10 Februari 1918
Meninggal | 19 Mei 1987 Semarang, Jawa Tengah | (umur 69)
Pekerjaan | Bhikkhu |
- "Sebagai bangsa Indonesia kalau mau berafiliasi kita sepantasnya ke Borobudur saja, mandala agung peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia dan kebanggaan kita dan dunia."[2]
Biografi
suntingDarmadjie (Darmakoesoma Semi Ajie atau Tan Hiap Kik) dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1918 di Kota Kawedanan Ambarawa. Ayahnya bernama Pak Slamet dan ibunya Bu Moerni. Karena terlahir di keluarga kurang mampu, ia tidak bersekolah melainkan diajari membaca oleh ayahnya. Pada Tahun 1927, orangtuanya bercerai karena masalah ekonomi sehingga Darmadjie terpaksa menumpang di rumah teman-temannya dan bekerja sebagai buruh pembuat selongsong rokok. Dua tahun kemudian, ia belajar membaca dan menulis dari teman-temannya yang bersekolah, selanjutnya ia mengajar teman-temannya yang buta huruf.[3]
Masa remaja
suntingSaat berusia 14 tahun, ia bekerja sebagai pelayan Toko P & D di Ambarawa dan belajar bahasa Belanda dari para serdadu Belanda yang minum-minum di tempat tersebut. Saat berusia 16 tahun, Darmadjie bekerja membantu toko kelontong ibunya di Semarang. Dua tahun kemudian ia bekerja di Pabrik Es Lilin Veronica Ice Cream Lolly, Jakarta. Setengah tahun kemudian, bersama dengan kakaknya yang bernama Djoeanda, mereka membuka depot es di Mranggen hingga masa Jepang menduduki Indonesia. Di Mrangen, Darmadjie sempat belajar bahasa Inggris.[3]
Kehidupan berkeluarga
suntingDarmadjie menikah dengan Soekini pada Tahun 1942, sesaat sebelum Jepang masuk di Indonesia. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Padmawati setahun kemudian, putri kedua bernama Kusumawati pada tahun 1946, putri ketiga bernama Riza Arsianti pada tahun 1949, putri keempat bernama Widiastuti pada tahun 1955, dan putra bungsu bernama Dipayana pada tahun 1958.[3]
Pada tahun 1946, Darmadjie ikut berjuang membawa bambu runcing mengadakan piket di dekat markas gerakan pemuda di Mranggen. Akibat luka di paha karena pecahan peluru mortir, ia terpaksa berpisah dengan keluarganya di Semarang hingga tidak dapat menyaksikan kelahiran putri keduanya. Pada saat itu, hubungan Semarang dan Kota Gubug tertutup. Setelah mengungsi ke Purwodadi hingga Solo, Darmadjie dapat kembali ke Semarang pada tahun 1948 dan menghidupi keluarganya sebagai buruh bengkel dan penjaga pintu masuk bioskop di malam hari. Pada tahun 1949, ia bekerja sebagai penjaga gudang tembakau sekaligus ahli nujum di alun-alun Semarang. Pada tahun 1963, Nyonya Soekini meninggal di Rumah Sakit Telogorejo akibat serangan jantung.[3]
Kehidupan spiritual
suntingSetelah kelahiran putra bungsunya, Darmadjie beserta keluarganya sering berjalan-jalan ke Vihara Buddhagaya Watugong, Semarang. Ia sering disapa oleh Y.A. Sthavira dan mulai mengenal agama Buddha lebih mendalam. Setelah kematian istrinya, Darmadjie berkabung hingga tiga tahun sehingga ia menjadi lebih sering datang ke vihara.[3]
Penahbisan Upasaka dan Pandita
suntingPada tahun 1964, di Gedung PHI Semarang diadakan Kongres Perbuddhi saat menjelang hari Trisuci Waisak 2508. Darmadjie diwisudi menjadi Upasaka oleh Y.A. Bhikkhu Jinapiya dan diberi nama Upasaka Dhammasiha. Oleh Darmadjie sendiri, nama berbahasa Pali itu diubah sendiri ke dalam bahasa Sanskrit menjadi Dharmasinha. Setelah menjadi Upasaka, ia Upasaka Dharmasinha bertugas di Vihara Tanah Putih sebagai penceramah agama Buddha.[3]
Setahun kemudian, setelah menjalani pelatihan Vipassana Bhavana selama tiga hari di Vihara Karuna Cattra, Rembang, Upasaka Dharmasinha diwisudi sebagai U. Pandita Dharmasinha oleh Y.A. Bhikkhu Girirakhito dan bertugas di Cetiya Wijayakusuma, Semarang. Selanjutnya, ia pindah ke Cetiya Wijayakusuma.[3]
Penahbisan Bhikkhu
suntingTepat pada Hari Waisak, tanggal 8 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, Samanera Dhammasila (kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Uggadhammo) bersama empat orang Samanera lainnya, yaitu Samanera Dhammasushiyo (kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Jinadhammo), Samanera Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala atau Nirihuwa Bermandus, kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Agga Jinamitto), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw, dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah), mereka diupasampada menjadi bhikkhu.[4]
Pelayanan
suntingBhikkhu Uggadhammo bertugas di Vihara Mahabodhi setelah vihara tersebut diresmikan pada tahun 1972. Pada tahun 1980, Bhikkhu Uggadhammo bersama Bhikkhu Agga Jinamitto dan Bhikkhu Jinadhammo telah menjadi Thera. Pada tahun yang sama, Bhikkhu Uggadhammo tinggal di Vihara Buddhasena, Bogor. Selama tiga belas tahun kemudian, Bhikkhu Uggadhammo banyak melakukan pelayanan seperti menertibkan kegiatan rutin dan tidak rutin di Vihara Buddhasena serta mengembangkan latihan-latihan meditasi di semua tempat yang ia kunjungi, menulis berbagai artikel yang dimuat di Majalah Dharma Kirti, puisi-puisi, menerjemahkan artikel berbahasa asing, dan menggubah lagu seperti Upasaka-Upasika, Jangan Tersesat Jalan, dan Pantai Bahagia.[3]
Karya terbesar Bhikkhu Uggadhammo yang diwariskan kepada umat Buddha di Indonesia adalah buku doktrin Sanghyang Adi Buddha yang menjadi pegangan umat Buddhayana.[1] Ia dikenal sangat gigih mengembangkan dan menyebarluaskan agama Buddha Indonesia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa (Sanghyang Adi Buddha), menciptakan stiker yang melambangkan Namo Sanghyang Adi Buddhaya.[3]
Tahun 1984, Bhikkhu Uggadhammo pindah ke Vihara Buddhasena, Semarang. Selama dua tahun berikutnya berturut-turut, ia hadir di Vihara Wahana Kirti dalam ragka memperingati Hari Kathina.[3]
Akhir hayat
suntingBhikkhu Uggadhammo wafat di Semarang pada Tahun 1987 setelah sekian lama menderita kencing manis dan sakit jantung. Ia dikremasikan di krematorium Ambarawa pada Tanggal 25 Mei 1987.[3] Abunya disimpan di Pagoda Vihara Sakyavararam, Pacet, Cipanas, Jawa Barat.[2]
Lihat pula
sunting- Ashin Jinarakkhita
- Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
Referensi
sunting- ^ a b Rel/874. Sabtu, 25 Mei 1987. "Merdeka", Tokoh Buddha Indonesia Meninggal, Halaman XI. Jakarta.
- ^ a b RO. Rabu, 3 Juni 1987. "Suara Karya", Bhikkhu Uggadhammo Telah Tiada, Halaman IX. Jakarta.
- ^ a b c d e f g h i j k Tim Penyusun. 1987. "Mengenang Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo". Jakarta: Vihara Wahana Kirti.
- ^ Tim Thammavira. 2009. http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat4/Sub24/Art420/baca.php?com=1&id=420 Diarsipkan 2013-10-04 di Wayback Machine. Y.M Bhikkhu Jinadhammo Mahathera, Majalah Dhammavira