Marapu

salah satu kepercayaan di dunia

Marapu adalah sebuah agama asli Nusantara yang saat ini banyak dianut oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Sumba. Kepercayaan ini awalnya berkembang di Suku Mbojo (Bima Kuno) yang mendiami wilayah timur Pulau Sumbawa, kemudian meluas dan menyebar hingga ke wilayah timur. Pesatnya perkembangan kepercayaan Marapu di Pulau Sumba dikisahkan dengan jelas melalui Hikayat Putri Kalepe dalam BO' Sangaji Kai (naskah kuno Kerajaan Bima). Dikisahkan bahwa salah satu keluarga Bangsawan Kalepe (wilayah selatan Bima) lari ke Pulau Sumba karena dikucilkan akibat melawan keinginan salah satu penguasa Dana Mbojo (Bima kuno). Pernikahan putri Bangsawan Kalepe bernama La Bibano, dengan salah satu anak penguasa yang berpengaruh di Pulau Sumba, turut menyebarluaskan kepecayaan ini. Namun di Mbojo/Bima sendiri kepercayaan ini mulai ditinggalkan sejak kedatangan pengaruh Hindu-Budha (Siwa-Budha) pada abad 8-9 masehi, terlebih saat Kerajaan Bima memasuki era Kesultanan Islam pada abad 17 masehi, hanya masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah pegunungan yang masih mempraktikkannya, sebagaimana yang dicatat oleh Zolinger pada tahun 1850 dan catatan Elbert pada tahun 1910, yang menemukan praktik kepercayaan ini masih dilakukan di wilayah pegunungan di Bima.

Kepercayaan ini disebut juga nama sebuah organisasi penghayat kepercayaan yang didaftarkan pada tahun 1982. Marapu berasal dari 2 kata yaitu "Ma" (yang) dan "Rappu" (Tidak disebut/Satu/Pemali/Sakral):"Yang Sakral", "Yang Pemali", suatu Entitas seperti Tuhan yang disembah yang adalah pencipta langit dan Bumi. Sementara di Bima, Marapu diterjemahkan sebagai "Ma" (Yang) dan "Rapu" (Dekat), sehingga diartikan sebagai "Yang Dekat"; yaitu merujuk pada roh alam penguasa langit dan bumi yang selalu ada di sekitar manusia. Lokasi tempat ibadahnya disebut Parafu, tokoh-tokoh agamanya disebut Pamboro atau Sando (orang yang mampu berbicara dengan para waro atau roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), sementara upacara hari besarnya disebut Toho Dore yang dilakukan satu tahun sekali berupa memberikan persembahan sesajian secara besar-besaran dari hasil tanam dan penyembelihan hewan.

Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk kepercayaan ini. Agama ini memiliki kepercayaan kepada Pencipta Langit dan Bumi yang dilakukan lewat perantaraan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Demikian juga di Sumba, upacara keagamaan marapu seperti upacara kematian dan sebagainya selalu dilengkapi penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus dijaga di Pulau Sumba.

Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain [Kebamoto, 2015] Dan marapu sangat di pertahan kan oleh sebagian besar orang Sumba.

Sistem Kepercayaan

sunting

Agama Marapu adalah agama tradisional nusantara yang sampai sekarang masih hidup dan banyak dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Agama ini merupakan sistem keyakinan yang berdasarkan pemujaan kepada Sang Pencipta lewat perantaraan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba, arwah-arwah leluhur disebut perantara Marapu yang artinya adalah “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Itulah sebabnya agama yang mereka anut juga disebut Marapu.[1]

Kepercayaan terhadap roh

sunting
 
Makam raja Melolo di desa Tambaka pada masa Hindia Belanda

Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Sang Pencipta Manusia). Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan sebagai penyembah Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.

Menurut kepercayaan, terdapat dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa’’. Ndiawa juga ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula.

Marapu

sunting

Marapu dibayangkan sebagai makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan, dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih unggul. Mereka dapat berjenis kelamin pria dan wanita serta berpasangan sebagal suami istri. Keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Secara hierarki, para Marapu dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.[1]

Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipuja agar segala doa dan kehendak mereka disampaikan kepada Maha Pencipta. Marapu diupacarakan dan dipuja dalam rumah-rumah, terutama di rumah besar atau pusat yang disebut uma bokulu atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya.

Mawulu Tau-Majii Tau

sunting

Walaupun terdapat banyak Marapu yang dipuja dan sering dimintai pertolongan, tetapi tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia) atau Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Tuhan Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sementara itu, para Marapu dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Para marapu inilah yang telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia.[1]

Kalimat-kalimat kiasan yang ditujukan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu antara lain:[1]

  1. Na Mapadikangu Tau (Pencipta Manusia)
  2. Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membentuk dan Membuat Manusia)
  3. Na Mawulu Tanga Mata Kalindi Uru-Na Mahangatu RI Wihi RI Lima (Yang Membentuk Alis Mata dan Batang Hidung. Yang Menyayat Tulang Kaki dan Tulang Tangan)
  4. Na Ndiawa Tumbu-Na Ndiawa Dedi (Dewa Yang Menumbuhkan dan Dewa Yang Menjadikan)
  5. Ina Nuku-Ama Hera (Ibu Hukum dan Bapak Cara)
  6. Na Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi)
  7. La Hupu Ina-La Hupu Ama (Ibu Segala Ibu dan Bapak Segala Bapak)
  8. Na Ina Mbulu-Ama Ndaba (Ibu dan Bapak Seisi Alam)
  9. Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapak dari Seluruh Yang Ada)
  10. Na Pandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya)
  11. Mayapa Watu Wulu-Matema Loja Lala (Pemegang Batu Ciptaan dan Penadah Kuali Leburan)
  12. Ndiawa Mbulungu -Pahomba Mbulungu (Jiwa dan Roh Yang Esa)
  13. Ina Bai-Ama Bokulu (Ibu Agung dan Bapak Besar)
  14. Ina Makaluni-Ama Makaluni (Ibu dan Bapak Yang Kudus)
  15. Na Mabokulu Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna (Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar Telinganya, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya)
  16. Na Mailu Paniningu-Na Mangadu Katandakungu (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia)
  17. Mapatandangu Manjipu-Na Mapatandangu Mandoku Mandanga (Yang Memperha tikan yang Salah dan Menimbang yang Keliru)
  18. Na Matimba Nda Haleli-Na Mandahi Nda Panjilungu (Hakim Yang Maha Adil)
  19. Na Kandapu Nda Ngihirungu-Na Karangga Nda Lelingu (Bukit Yang Tak Beranjak dan Ranting Yang Tak Bergerak,Yang Abadi)

Selain memuja arwah leluhur, agama Marapu juga percaya kepada bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja. Terdapat kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya memiliki jiwa dan perasaan seperti manusia, juga percaya adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa.

Patau Tana

sunting

Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari alam,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, gua-gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Penduduk memberi mereka sesaji agar tidak mengganggu.[1]

Mamarungu

sunting

Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh-pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lampau orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain.[1]

Maranongu

sunting

Maranongu adalah roh halus yang sederajat dengan mamarungu, tetapi mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia.[1]

Katiku kamawa

sunting

Katiku kamawa adalah makhluk halus yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asal-usulnya. Penampilan katiku kamawa berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling-guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar atau di pohon mangga.[1]

Bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung-gunung atau di tempat-tempat sunyi.[1]

Kekuatan gaib

sunting

Orang Umalulu percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan hal-hal luar biasa yang dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan suara-suara yang luar biasa.[1]

Ngilu katiu

sunting

Ngilu katiu adalah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka.[1]

Tokoh-tokoh manusia

sunting

Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi, dan na mapingu muru, karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib (mengucapkan mantra-mantra tertentu). Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para ratu atau oleh tau mapingu papuhi untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu.[1]

Seorang tau mapingu papuhi ketika melakukan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di uta muru-kaba watu (hutan hijau dan tebing batu ), yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra-mantra (tundu wara) dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat mengubah manusia menjadi binatang, pohon atau batu.[1]

Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun-daunan) atau tada ai (obat dri ramuan akar-akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra-mantra tertentu kepada si sakit.[1]

Bagian tubuh manusia

sunting

Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama pria), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat-tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah.[1]

Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal-pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu-batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang.[1]

Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya.[1]

Binatang

sunting

Binatang yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara Iain wangi (burung hantu), kuu (burung alap-alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Umalulu karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing).[1]

Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara-upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan dapat dilihat melalui hati babi.[1]

Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan.[1]

Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.[1]

Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah ayam jantan. Bulu-bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka.[1]

Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk-makhluk halus.[1]

Tanaman

sunting

Tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga), dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua daun-daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru), kahi jawa (asam jawa), muru mangandingu (sejenis sulur-suluran), yawilu (kayu manis), kunu buti (Lat: Hyptis suaveolens), dan rutu (Lat: Albizza marginata meer) juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan penyakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring, Lat: Cassia fistula), dan kanawa (angsana).[1]

Benda-benda

sunting

Benda.-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan merupakan lambang suci para marapu ialah tanggu marapu. Benda-benda lain yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda-benda pusaka, seperti parang,kain-kain, perhiasan mas, perhiasan manik-manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat-saat tertentu saja oleh pemiliknya.[1]

Suara-suara

sunting

Suara-suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah mantra-mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara-suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana yang diperlukan.[1]

Pemujaan

sunting

Benda-benda keramat

sunting

Kehadiran para Marapu di dunia nyata diwakili lambang-lambang suci yang berupa perhiasan emas atau perak (terkadang berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang kebesaran dan kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah tidak ada lagi.[1]

Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda upacara dijadikan objek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan objek pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan

Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan:

  1. tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu. Menurut kepercayaan, roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri.
  2. tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya.

Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda.

Tempat pemujaan

sunting

Uma bokulu

sunting

Lambang-lambang suci disimpan di Pangiangu Marapu (kediaman Marapu), yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Khusus untuk Marapu Umbu Endalu di Umalulu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Selain Uma Bokulu, rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain:[1]

  1. Uma karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan
  2. Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan
  3. Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru
  4. Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit
  5. Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh
  6. Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan

Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung.[1]

Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku (bahasa puisi berbait) disebut Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan masyarakat Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara fisik rumah itu terlihat kecil, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.

Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan adalah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya.

Katuada

sunting

Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada merupakan tempat upacara pemujaan berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa serta sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Batu pipih tersebut merupakan tempat untuk meletakkan bermacam-macam sesaji kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu, antara lain berupa pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas), dan uhu mangejingu (nasi kebuli).[1]

Katuada ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu:

  1. Katuada kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah.
  2. Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu.
  3. Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya.
  4. Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik.
  5. Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.
  6. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah.
  7. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu.
  8. Katuada bungguru (tugu persekutuan), tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik.
  9. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan.
  10. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah).
  11. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut.
  12. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran.

Pemuka agama

sunting

Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta). Penetapan waktu upacara didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia.

Masyarakat Umalulu di Sumba Timur juga percaya tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk mendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit.[1]

Kesusasteraan suci

sunting

Karena tidak mengenal tulisan, kesusasteraan suci mereka diturunkan secara lisan oleh para ahli atau pemuka-pemuka agama. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diceriterakan pada saat upacara-upacara keagamaan sambil diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci ini dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.[1]

Upacara keagamaan

sunting

Menurut Koentjaraningrat,[2] dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan-perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Umalulu untuk melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Umalulu dengan para marapu didasari oleh rasa cinta,hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci. Perasaan-perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan.

Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu, manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan.

Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, manusia harus melaksanakan berbagai upacara.

Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat. Oleh karena itu, tempat-tempat upacara, saat pelaksanaan, alat-alat upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada setiap upacara keagamaan, berbagai bentuk kesenian biasanya juga ditampilkan dan menjadi pengiring bagi religi mereka.

Upacara kehamilan dan kelahiran

sunting

Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami-istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir.

Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu, untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu.

Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara Hangguru, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai. Upacara-upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara Hangguru, harus disediakan seekor babi yang seIuruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu).

Setelah berumur antara dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari masa anarara menjadi anakiada (kanak-kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu (memahitkan air susu, penyapihan). Upacara ini dilakukan dengan permohonan kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan mengikuti orang tuanya bekerja di ladang.

Upacara menjelang dewasa

sunting

Anakiada yang berusia antara dua sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), karena rambut mereka dicukur gundul hanya bagian atasnya saja, bagian belakang dibiarkan panjang, sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Sedangkan untuk anak laki-laki biasanya hanya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan.

Pada waktu anakiada beralih menjadi bidi tau, yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat tahun, dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh secara meminta atau mencuri di kampong-kampung sekitarnya. Pada hari keempat, ratu atau paratu yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku, dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara itu masing-masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung. Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau, Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan tambahan kekuatan gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu.

Bagi para bidi kawini (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban.

Upacara pernikahan

sunting

Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting dalam kehidupan seseorang ialah saat perkawinan. Untuk menghadapi saat krisis itu, orang Umalulu melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para marapu.

Upacara kematian

sunting
 
Pekuburan Marapu.

Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku — halubu la mandu mara (menjelma bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyaiah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain.

Upacara Patingu adalah ritual untuk membebaskan jiwa kerabat yang sudah meninggal dari ikatan dunia. Arwah-arwah yang belum diupacarakan dapat membawa bahaya bagi keluarganya dan juga masyarakat umum karena merasa tidak dihiraukan. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan dengan berbagal upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung dengan makhluk-makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia.[1]

Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang dilaksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga terkesan pemborosan. Namun, bagi orang Sumba, hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara mereka.

Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit.

Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian adalah:

  1. Yubuhu — karandi (kapan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki-laki, sedangkan untuk wanita ialah sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai-balai) untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara- anamini (ipar dan saudara laki-laki).
  2. Dangangu - ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut di balai-balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu — ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya - anakawini (ipar dan saudara wanita).

Pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang-kadang menuntut waktu lama.

Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum pemakaman yang sesungguhnya. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang-orang yang khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa pahapa dan kurban ayam atau babi. Adakalanya pula dipotong kerbau atau kuda, yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan adakalanya hingga bertahun-tahun, terganturig pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman dilaksanakan.

Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai-taulan di dalam atau di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) didandani dengan pakaian dan perhiasan yang indah.

Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam. Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah si mati melemparkan benda-benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu kubur). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata, kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki, dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi.

Selanjutnya dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan kampung lain. Peristiwa itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan masing-masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah mereka semua.

Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati ke Parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka arwah si mati hanya tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan pada pesta Pamangu langu paraingu yang diadakan setiap Wulangu Mangata.

Pamangu kawunga dan Wunda lii hunggu

sunting

Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.

Agama Marapu dalam sosial-kebudayaan

sunting

Hampir semua segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan sehingga bisa dikatakan agama Marapu menjadi inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat Umalulu, Sumba Timur memiliki keterikatan oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas).[1]

Pandangan tentang kehidupan dan kematian

sunting

Menurut kepercayaan masyarakat Umalulu, seseorang yang lahir ke dunia dan meninggal adalah atas kehendak Mawulu Tau-Majii Tau. Peristiwa kematian adalah suatu peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata (dunia) ke alam gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di alam nyata. Akan tetapi kehidupan di alam nyata tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah kekal. Tubuh manusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput) yang dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah ndiawa (roh).[1]

Pengaruh budaya asing

sunting

Dalam perkembangannya, masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit.[3] Namun, pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama.[4] Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibu kota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school.[3] Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.

Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu.[5] Semejak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.[1]

Hierarki para dewa

sunting

Masyarakat Umalulu

sunting

Masyarakat Umalulu, Sumba Timur mempunyai banyak dewa (Marapu) dan ada susunannya secara hierarki, tetapi tidak merupakan suatu panteon tersendiri karena setiap dewa mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memujanya. Para Marapu tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali saat ada upacara tertentu.[1]

Marapu kerabat Ratu Umbu Endalu

sunting

Para Marapu dapat digolongkan berdasarkan hubungan kekerabatan dan pemerintahan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut sebagai Uma Ndapataungu. Marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu Kawau yang merupakan permaisurinya dan dua orang putra, yaitu Umbu Kaluu Rihi dan Umbu Tunggu Watu. Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi Liaba yang biasa disebut Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta dua orang putra, yaitu Rambu Konga Wandalu, Umbu Mula, dan Umbu Lu.[1]

Marapu pemerintahan Ratu Umbu Endalu

sunting

Marapu yang tergolong dalam pemerintahan Umbu Endalu antara lain:[1]
A. Umbu Endalu oleh keturunannya dipuja sebagai Ina Ratu - Ama Konda, Na Pamalilingu Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak para ratu dan raja, yang dipantangkan kata dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap sebagai dewa kesuburan serta kemakmuran.
B. Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu (imam, pendeta) yang mengurus hal keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu oleh beberapa ratu lainnya:

  1. Umbu Pandi Makahihiru, pembantu Umbu Kaluu Rihi yang bertugas sebagai paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan golongan ratu
  2. Kunda - Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu
  3. Umbu Hamata dan Umbu Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka
  4. Umbu Manggedingu dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk menghadap Na Mawulu Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan sebagai pemelihara kebersihan tempat pemujaan.

C. Umbu Tunggu Watu, putra kedua Embu Endalu, ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas menjalankan pemerintahan dan memimpin dalam segala bidang kehidupan, termasuk urusan keagamaan sebagai pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara pemujaan. Dalam menjalankan tugasnya, Umbu Tunggu Watu dibantu oleh:

  1. Umbu Dimu dan Umbu Rawa yang bertugas sebagai penolak mara bahaya yang datang dari arah udik dan bahaya penyakit
  2. Umbu Rumbu dan Umbu Kapala Rikatu sebagal panglima perang
  3. Umbu Tundu Mbiru dan Umbu Kahi Laku sebagai pengawal
  4. Titi-Nini sebagai penasihat
  5. Umbu Diawa Lodu dan Umbu Diawa Mada sebagai penjaga matahari dan ahli bela diri
  6. Umbu Panda dan Umbu Baka sebagai pemberi ampun dan berkat
  7. Umbu Ropa dan Umbu Nyali sebagai pemegang kilat
  8. Umbu Owa dan Umbu Kalaki sebagai ahil berburu
  9. Umbu Watu Kambaru dan Umbu Rengga Mbulu sebagai penjaga laut
  10. Umbu Meha Wulu dan Umbu Mandarimu sebagai ahli pertukangan
  11. Umbu Lawahu dan Umbu Kambaru Hihu sebagai pengatur dalam hal perkawinan dan menentukan waktu pertukaran tahun
  12. Umbu Katindi dan Umbu Luwa Ratu sebagal ahli pertanian

Marupu berdasarkan jumlah pemuja

sunting

Para Marapu dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu dalam satu paraingu dan dalam suatu kabihu. Marapu golongan pertama ialah mereka yang termasuk kerabat Marapu Ratu Umbu Endalu, walaupun mereka itu tidak bersemayam dalam satu tempat pemujaan karena masing-masing marapu mempunyal tempat persemayaman sendiri. Marapu-marapu golongan kedua ialah mereka yang merupakan leluhur tiap-tiap kabihu dan bersemayam di uma bokulu dari masing-masing kabihu yang memujanya.[1]

Legenda dalam prosa rakyat (kareuku)

sunting

Marapu turun dari langit

sunting

Langit, tempat asal semua Marapu, terdiri dari delapan lapis yang disebut Awangu Walu Ndani dan berbentuk seperti hawita panggubulungu (kukusan tertelungkup). Pada lapisan yang pertama bersemayamlah La Hupu Ina – La Hupu Ama, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di lapisan pertama yang bernama Hupu Makanjudingu – Hupu Makapatangu (ujung yang gelap gulita ) ini, diciptakan seorang pria dan seorang wanita. Kedua orang itu ditempatkanNya di suatu tempat yang bernama Kandau Ndai-Kabundu Tana Mulungu (hutan tua dan bukit binasa) yang merupakan lapisan kedua.

Di lapisan kedua, lahir Walu mini marimba-Walu kawini ratu (delapan laki-laki raja dan delapan wanita ratu) dan delapan pasang ata (hamba). Akan tetapi, karena di lapisan kedua itu terlalu sempit dan gelap, maka turunlah mereka bersama La Hupu Ina-La Hupu Ama ke lapisan ketiga yang bernama Tana Tanjuruku- Watu Pahinggangu (tanah yang longsor dan batu yang disangga).

Tanah di lapisan ketiga mudah longsor sehingga harus disangga dengan batu, lagi pula di lapisan ketiga itu masih terlalu gelap. Oleh karena itu mereka turun lagi ke lapisan keempat yang bernama Lia Kanjindingu-Lia Kapatangu (lubang yang gelap gulita). Di tempat ini masih gelap gulita karena berada di dalam lubang. Kemudian turunlah mereka ke lapisan kelima yang bernama Liangu Lira-Ngamba Watu (lubang sempit dan tebing batu). Tempat itu pun masih terlalu sempit dan bertebing, tetapi tebing ini terbuat dari emas. Dari lapisan kelima ini terlihatlah oleh mereka sinar terang yang tembus dari bawah. Kemudian tebing emas itu dipecahkan oleh Umbu Pambalu- Rambu Rubu. Setelah itu turunlah mereka ke lapisan keenam yang bernama Reti Wula-Kulu Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur anak kuda dan pintu patung manusia).

Di lapisan keenam, Tara Hau-Lulu Weu menempa emas dari pecahan tebing di lapisan kelima untuk dijadikan dua buah matahari dan dua buah bulan. Setelah jadi, lalu bermusyawarahlah mereka untuk memutuskan hendak di manakah kedua matahari dan kedua bulan itu digantungkan. Kemudian diputuskan bahwa kedua matahari dan kedua bulan itu akan digantungkan di langit lapisan kelima oleh Tara Hau - Lulu Weu dengan mengendarai hanggeji ruu patola-hanggeji mata taki (pelangi). Ternyata dengan adanya dua buah matahari, hawa menjadi terlalu panas, maka yang sebuah diambil lagi, jadi yang tinggal hanya sebuah matahari saja. Beberapa lama kemudian, kedua buah bulan berselisih memperebutkan seorang wanita bernama Rambu Mbana yang berakhir dengan kematian salah satu bulan, sehingga kini hanya satu bulan saja yang ada.

Pada waktu berada di lapisan keenam tersebut, para marapu belum mengetahui adanya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan burung rawa (punai) untuk menentukannya. Akan tetapi, burung rawa menentukan siang selama satu tahun dan malam selama satu tahun pula, sehingga para marapu tidak menyetujui karena terlalu lama. Kemudian mereka minta bantuan burung kuaka (murai). “Kuaka waihangu, kuaka waihangu !” (“Besok siang, besok siang !”), seru burung kuaka setiap pagi. Akhirnya penentuan oleh burung kuaka itu disetujui para marapu.

Di langit lapisan keenam itu pun para marapu tidak tinggal lama. Mereka turun lagi ke lapisan ketujuh yang bernama Tana Mumu – Watu Nggela (tanah berguncang dan batu bergoyang). Akan tetapi kini La Hupu Ina – La Hupu Ama tidak ikut turun, tetap tinggal di lapisan keenam dan ditemani oleh ahu walu ngiu – tawongu walu tiu (anjing delapan ekor dan lebah delapan sarang). Ternyata keadaan di lapisan ketujuh itu pun tidak aman, sehingga para marapu memutuskan untuk turun lagi ke lapisan kedelapan, kecuali Tara Hau – Lulu Weu yang tetap tinggal di lapisan ketujuh.

Di lapisan kedelapan, para marapu tinggal lama dan mereka belajar segala pengetahuan serta nuku – hara yang sampai kini diikuti oleh keturunannya di bumi. Langit pada lapisan kedelapan ini bernama Taluara Mbidahu - Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Njati ( halaman rata dan balai bercahaya di bawah naungan pohon jeruk dan pohon jati). Akan tetapi, pada lapisan kedelapan ini para marapu masih merasa tidak aman, karena itu mereka menyuruh Mbongu-Mbaku (kabut dan elang) terbang untuk mencari tempat yang lebih baik bagi kediaman mereka. Pada suatu saat dalam penerbangannya, Mbongu - Mbaku mendapatkan bahwa di bawah lapisan kedelapan ada suatu dataran yang sangat luas. Namun setelah diselidiki ternyata yang terlihat seperti dataran itu hanyalah air semata. Kemudian kembalilah mereka untuk mengabarkan hal tersebut kepada para marapu. Setelah mendengar penjelasan itu, para marapu mengutus Mbongu - Mbaku untuk menghadap La Hupu Ina-La Hupu Ama di lapisan keenam. Di lapisan keenam, Mbongu-Mbaku menceritakan maksud mereka kepada La Hupu Ina – La Hupu Ama yang kemudian memberi mereka berjenis-jenis tanah dan batu agar dihamburkan ke seluruh permukaan air. Sekembalinya dan lapisan keenam dan menyampaikan segala pesan La Hupu Ina- La Hupu Ama tersebut kepada para marapu, kemudian Mbongu-Mbaku menghamburkan tanah dan batu itu ke seluruh permukaan air sehingga terjadilah pulau-pulau besar dan kecil. Sesudah segala pulau besar dan kecil itu ada, maka bermufakatlah para marapu untuk turun ke bumi dengan panongu bahi- panongu atu (tangga besi dan teras kayu). Mereka turun di Malaka-Tana Bara, kemudian mereka berlayar dengan menggunakan karaba rongu-karaba rita (sampan randu dan puli) melalui Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa - Ndua Njawa, Ruhuku Mbali, Ndima- Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba-Rai Njua dan akhirnya tiba di Haharu Malai- Kataka Lindiwatu (Tana Humba, Pulau Sumba).

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an Soeriadiredja, P. 2002. "MARAPU: AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR". Denpasar: LABANT – FS UNUD.
  2. ^ Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, 1977.
  3. ^ a b Widijatmika, Munandjar, "Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur", LP Undana, Kupang, 1980.
  4. ^ Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.
  5. ^ Suriadiredja, P., Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.

Kepustakaan

sunting
  • Maria, Siti (Dra.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Marapu di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Pranala luar

sunting