Bregada
Bregada (bahasa Jawa: ꦧꦽꦒꦢ, translit. bregada), lebih lengkapnya adalah bregada kaprajuritan adalah seni keprajuritan yang berasal dari zaman Kesultanan Mataram. Olah keprajuritan ini mengadaptasi unsur-unsur militer yang beradaptasi dengan budaya Jawa. Berbeda dengan keprajuritan lainnya, bregada biasanya tampil sebagai pasukan yang umumnya dikerahkan saat upacara adat atau pesta rakyat, seperti Grebeg atau merti dusun.
Kata bregada berasal dari kata "brigade".[1] Saat ini terdapat 4 kategori bregada yang aktif di Yogyakarta: bregada Keraton Yogyakarta, bregada Keraton Surakarta, bregada Pura Pakualaman, serta bregada yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat, yang disebut bregada rakyat.
Sejarah
suntingPerkembangan bregada tidak lepas dari sejarah keprajuritan Kesultanan Mataram. Sejak masa pembentukan Kesultanan Mataram, negara tersebut telah diperlengkapi dengan alat pertahanan dan keamanan yang tangguh dan kuat. Bukti kuat yang berkaitan dengan tangguhnya kesatuan prajurit Kesultanan Mataram adalah pada saat terjadinya penyerangan ke Batavia, yang saat itu sudah diduduki VOC pada 1628 dan 1629. Pada masa pemerintahan Pakubuwana III, Kesultanan Mataram pecah sebagai akibat dari Perang Takhta Jawa Ketiga, ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Giyanti oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755. Pecahan Kesultanan Mataram tersebut adalah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.[2]
Bregada Yogyakarta
suntingPada saat terjadi pertempuran di Jenar melawan VOC, Pangeran Mangkubumi memiliki bregada prajurit yang sangat tangkas; namanya bregada Mantrilebet (sekarang disebut Mantrijero). Bregada ini berhasil menumpas Mayor Clereq pada 12 Desember 1751. Mayor Clereq berhadapan satu-satu dengan seorang personel prajurit bernama Wiradigda. Tombak tersebut melukai bahu Clereq sehingga pedang yang ia pegang lepas dan terjatuh. Dalam kondisi genting, ia mencoba untuk menodongkan pistol kepada Wiradigda. Namun, Wiradigda tidak sendiri; Wiradigda dibantu oleh rekannya yang bernama Prawirarana untuk menusukkan sebatang tombak ke leher Clereq hingga Clereq pun tewas seketika. Tombak yang digunakan dalam peristiwa tersebut kemudian diberi nama Kyai Clereq.[3]
Setelah Kesultanan Ngayogyakarta berdiri, Hamengkubuwana I memerintahkan pembangunan keraton, serta melembagakan kesatuan prajurit yang tetap melakukan perlawanan bersenjata. Kekuatan mereka semakin disegani; terbukti pada 1781 seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa bernama Johannes Siberg (menjabat 1780–1787) pernah mengajukan permohonan pengerahan pasukan keraton sebanyak 1.132 orang, dengan perincian 1.000 personel prajurit biasa, 100 orang prajurit pengawal Putra Mahkota, dan sisanya perwira-perwira tinggi, ke Batavia. Tujuan dari pengerahan pasukan ini adalah untuk menghalau tentara Britania Raya yang akan berperang melawan Belanda dan menduduki wilayah Asia Tenggara. Tugasnya berakhir pada Oktober 1783 dan mereka pun mendapatkan hadiah 12 unit meriam dari Residen VOC di Yogyakarta.[4][5]
Untuk menunjang kegiatan harian keprajuritan, dibangunlah benteng pertahanan (baluarti) yang dilengkapi dengan selokan di sisi luarnya; dibangun atas prakarsa Bendara Raden Mas Sundara, yang diangkat sebagai Putra Mahkota Kesultanan (kelak Hamengkubuwana II) pada tahun 1782.[6] Pada tahun 1785, Siberg mengutus kelompok kerja beranggotakan teruna maritim Belanda dari Semarang, untuk melakukan kajian atas benteng pertahanan tersebut. Ketika Jan Greeve menjabat menggantikan Siberg sebagai Gubernur, ia menyaksikan benteng tersebut pada kunjungannya ke Yogyakarta pada 5–15 Agustus 1788.[4]
Dalam laporan yang dibuat oleh Jan Greeve tersebut, mereka melihat bregada-bregada tersebut sangat terlatih dan menyambutnya secara meriah dengan salvo senapan dan meriam. Ia, yang didampingi oleh Residen Surakarta Hartsinch, juga berkunjung Pesanggrahan Rejowinangun dan menyaksikan prajurit wanita yang berada di bawah Kadipaten (Putra Mahkota), serta dipertontonkan olah keprajuritan dalam berburu kijang di Krapyak. Prajurit-prajurit wanita tersebut dikenal dengan nama Langenkusuma; melakukan latihan keprajuritan rutin di Alun-alun Kidul (bagian selatan Keraton).[7]
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwana I, kesultanan memiliki 3 kategori prajurit. Kategori pertama adalah prajurit inti Keraton: Anirmala, Blambangan, Bugis, Dhaeng, Jagakarya, Kawandasa (Patang-Puluh), Mandhung, Mantri Lebet (Mantrijero), Mantri Pinilih, Miji Peranakan, Ketanggel (Ketanggung), Nyutra, Sumaatmaja, Suragama, Nyutra, dan Wirabraja. Kategori kedua bertugas mengawal Putra Mahkota (bregada Kadipaten), yakni Mancapertama, Prawiratama, Jayengastra, Langenastra, Pancasura, dan Surakarsa. Kategori ketiga adalah bregada Pangrembé yang bertugas mengelola dan melindungi tanah-tanah serta kekayaan milik Kesultanan, yakni Suranata, Sesela, Jurusabil, Ngasrama, dan Arahan. Di samping itu terdapat personel prajurit bekas Kesultanan Mataram sebelum peristiwa palihan nagari yaitu Trunajaya, Mandrapertama, dan Jahenghastra.[8]
Kekuatan bregada keprajuritan semakin menyusut pada masa pemerintahan Hamengkubuwana II. Pada 20 Juni 1812, pasukan Britania menyerang baluarti Keraton Yogyakarta untuk menjatuhkan ultimatum yang memaksa Sultan Hamengkubuwana II lengser dan menggantinya dengan putra mahkota, yang ditentukan oleh Britania. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Geger Sepehi. Tanah Kesultanan pun diduduki oleh Britania; Hamengkubuwana II dan putranya Mangkudiningrat diasingkan ke Pulau Penang, Malaya. Secara sepihak Britania mengangkat putra Hamengkubuwana II yang lain, Bendara Raden Mas Surojo, sebagai Sultan Hamengkubuwana III.[9] Pada tanggal 1 Agustus 1813, Sultan Hamengkubuwana III dipaksa untuk menandatangani perjanjian yang menetapkan:[10]
- Britania sebagai pemegang hak wewenang dalam pemungutan bea dan cukai di pelabuhan dan pasar;
- Britania sebagai penerima keuntungan penjualan dari burung walet, madat, dan kayu gelondongan;
- wilayah manca nagara Kesultanan harus diserahkan kepada Britania, seperti Pacitan dan Kedu;
- Kesultanan tidak boleh membentuk angkatan perang sendiri, kecuali prajurit pengawal Sultan.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwana IV, prajurit-prajurit yang semula bertugas di dalam benteng, kemudian ditempatkan di luar benteng Keraton. Akibatnya, terjadi pelemahan dari kekuatan bregada-bregada tersebut. Penataan permukiman bregada Keraton masih mengelilingi benteng dengan formasi mirip tapal kuda. Namun prajurit seperti Langenastra dan Langenarja tetap bertahan di dalam benteng.[11] Bahkan meski peranannya dikerdilkan, setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830), Belanda tetap melakukan tekanan dan aneksasi sehingga melemahkan fungsi bregada. Prajurit-prajurit Pangrembe dihapus, serta dipangkas menyisakan 14 bregada prajurit dan kekuatannya dilucuti hingga 75% karena terdampak perjanjian demiliterisasi antara Hamengkubuwana V dengan Belanda. Empat belas bregada yang tetap aktif adalah Mantrijero, Ketanggung, Nyutra, Miji Peranakan, Prawiratama, Jagakarya, Patangpuluh, Dhaeng, Wirabraja, Suranata, Bugis, Surakarsa, Jager, dan Arahan.[7][12]
Sejak pemerintahan Hamengkubuwana VI hingga VIII, bregada Prajurit Keraton berubah menjadi prajurit seremonial (keperluan upacara). Prajurit ini dibubarkan penuh pada 1942 dan baru dihidupan kembali pada 2 Maret 1971 atas perintah dari Hamengkubuwana IX. Bregada keprajuritan ini keluar saat upacara Grebeg, yang diselenggarakan setiap peringatan Maulid ("Grebeg Mulud"), Idulfitri (disebut "Grebeg Syawal"), dan Iduladha ("Grebeg Besar"), atau pawai budaya yang diselenggarakan Pemerintah Daerah atau Keraton.[13]
Bregada Surakarta
suntingBregada Pakualaman
suntingSebelum dijadikan sebagai bregada, korps angkatan bersenjata Kadipaten Pakualaman dikenal dengan nama "Legiun Pakualaman". Legiun ini dibentuk segera setelah Pakualaman berdiri, dan Paku Alam I (Pangeran Natakusuma) bertakhta. Tidak seperti bregada Kraton, legiun difasilitasi dengan gaya busana, keterampilan dan taktik, kepangkatan, dan pelatihan seperti halnya prajurit-prajurit Eropa. Mereka juga difasilitasi oleh Pemerintah Kolonial mulai dari instruktur sampai uang saku. Mereka pernah terlibat dalam Perang Aceh, tetapi tidak memberi kepuasan bagi Pemerintah Kolonial, sehingga legiun ini dibubarkan pada 1892 (era Paku Alam V). Mereka yang masih muda dan sehat ditawari bergabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger, tetapi mereka yang ditolak masuk ditawari menjadi abdi dalem punakawan.[14][15]
Selama empat puluh delapan tahun berselang, pada Maret 1940, legiun ini sempat dibentuk lagi oleh Pura Pakualaman.[16] Namun pada akhirnya, seluruh peperangan dan perlawanan di Jawa dihentikan setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, dan seluruh wilayah Jawa berada dalam pendudukan militer. Mantan anggota Legiun Pakualaman, Mangkunegaran, Cakraningrat, dan KNIL direkrut sebagai bagian dari pasukan Heiho.[17]
Kini sisa dari bregada Pakualaman difungsikan sebagai prajurit seremonial. Terdapat dua bregada yang aktif yakni bregada Lombok Abang dan Plangkir. Bregada Lombok Abang berbaris di depan Gunungan, sedangkan Plangkir di belakangnya.[18]
Karakteristik
suntingBaris-berbaris
suntingTidak seperti peraturan baris-berbaris (PBB) TNI, baris-berbaris bregada menggunakan aba-aba campuran bahasa Jawa dan Belanda. Untuk prajurit-prajurit yang berasal dari Sulawesi Selatan, aba-aba yang digunakan mengadopsi bahasa dari Sulawesi yang sudah terdistorsi (umumnya bahasa Makassar dan Bugis). Contohnya, “jarengi mana malembuk besaro, nancongi besaro, madhinching malembuk besaro.”[19] Sejak 1970-an, aba-aba bregada menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya.[7]
Cara berjalan yang digunakan ada dua, yaitu lampah macak dan lampah rikat (mars). Lampah macak setara dengan langkah tegap perlahan, sedangkan lampah mars setara dengan langkah cepat biasa. Setiap bregada memiliki ketetapan formasi baris-bebaris. Pada lampah macak dimulai dari pemain trompet (jika ada), panji (komandan kompi), pembawa bendera, prajurit pembawa senapan, prajurit pemain alat musik, panji II (wakil komandan kompi), prajurit pembawa senapan, sersan tombak pertama, jajar tombak, dan terakhir sersan tombak kedua. Pada lampah rikatan dimulai dari pemain trompet (jika ada), prajurit pemain alat musik, panji (komandan kompi), pembawa bendera, prajurit pembawa senapan, panji II (wakil komandan kompi), prajurit pembawa senapan, sersan tombak pertama, jajar tombak, dan terakhir sersan tombak kedua.[7]
Pakaian dan identitas
suntingPakaian yang dikenakan oleh bregada keprajuritan merupakan akulturasi antara kebudayaan Jawa, Islam, dan Eropa. Gubernur VOC untuk Pantai Timur Jawa Nicolaas Hartingh melaporkan bahwa pakaian keprajuritan Keraton sudah mengadopsi gaya Islam, seperti pakaian putih dan serban ulama, serta membawa dua keris. Namun lukisan-lukisan yang muncul pada masa berikutnya tidak terlalu banyak mengindikasikan unsur Islam ada pada tiap seragam keprajuritan. Desain Eropa baru diperkenalkan pada masa Hamengkubuwana IV. Unsur-unsur yang terlihat adalah penggunaan kaus kaki, sepatu, dan topi.[20][4]
Setiap bregada mengadaptasi seragamnya sendiri-sendiri sebagai sebuah identitas, juga dengan warna dan motif yang berbeda-beda, termasuk juga identitas lainnya seperti panji-panji prajurit, tombak pusaka, serta instrumentasi.[7]
Instrumentasi musik
suntingInstrumentasi yang digunakan dalam bregada keprajuritan merupakan hasil dari akulturasi dan percampuran budaya Jawa, Eropa, dan Sulawesi Selatan. Musik keprajuritan umumnya bersifat instrumental, sehingga dalam seni musik Jawa digolongkan sebagai gendhing. Meski mengadaptasi musik keprajuritan Eropa, prajurit-prajurit ini pada masa lalu tidak mengadaptasi teori musik Eropa, tetapi diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Oleh karena itu, tidak ada notasi tertulis bersejarah yang dapat diverifikasi untuk masing-masing gendhing keprajuritan.[21]
Unsur-unsur musik Eropa terdapat pada trompet (bugle), tambur (rope-tensioned snare drum), dan seruling miring (fife). Trompet digunakan untuk memberi suatu penanda/perintah tertentu. Tambur digunakan untuk berfungsi sebagai pengatur tempo derap langkah seperti halnya drumben. Seruling berfungsi sebagai pengisi melodi pembentuk gendhing. Unsur-unsur musik Jawa terdapat pada penggunaan bende (gong kecil/canang) dan kecer (simbal). Bende telah digunakan dalam keprajuritan Jawa sebelum era Kesultanan Yogyakarta, berfungsi untuk memberi tanda. Kecer berfungsi sebagai penjaga tempo. Unsur-unsur Sulawesi Selatan terdapat pada ketipung-dogdog serta pui'-pui'. Ketipung-dogdog diyakni merupakan adaptasi dari ganrang, jenis gendang khas Makassar/Bugis yang dipukul menggunakan stik di salah satu sisinya. Pui'-pui', yang juga disebut sebagai dermenan, adalah sejenis trompet kecil dari Sulawesi Selatan, tetapi bentuk pui'-pui' bregada lebih besar dan bentuknya berbeda. Mulut tiupnya juga sudah tidak lagi terbuat dari daun lontar, tetapi bambu tipis.[21]
Persenjataan
suntingPersenjataan bregada dapat berupa senjata api dan senjata tajam. Senjata api yang biasa digunakan adalah meriam, senapan, dan pistol. Senjata tajam yang digunakan dapat berupa pedang, tombak, panah, dan keris. Beberapa kesatuan dapat melengkapinya dengan alat pelindung badan seperti tameng, contohnya Prajurit Nyutra.[7]
Perkembangan masa kini
suntingYogyakarta
suntingBregada keprajuritan Yogyakarta saat ini dibina oleh Kawedanan Kaprajuritan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (sebelumnya Tepas Kaprajuritan), yang berdiri pada tanggal 2 Maret 1971 atas restu dari Sultan Hamengkubuwana IX, dan pertama kali dibina oleh putranya, B.R.M. Herdjuno Darpito (sekarang Hamengkubuwana X).[13]
Keprajuritan Keraton Yogyakarta memiliki pucuk pimpinan yakni seorang Panglima yang disebut Manggalayudha (Komandan Wadana Hageng Prajurit), yang kemudian membawahi beberapa orang Pandhega (Kapten/Bupati Enèm Wadana Prajurit). Di bawah komando Pandhega terdapat kesatuan-kesatuan dengan identitas yang khas dan berbeda antara kesatuan yang satu dengan yang lain. Pada kesatuan yang bersifat khusus, seperti Prajurit Bugis dan Surakarsa, dipimpin oleh seorang Wadana. Saat ini di Yogyakarta bregada yang aktif adalah bregada Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Bugis, dan Surakarsa.[7]
Dalam satu bregada terdapat perpangkatan yakni:[7]
- prajurit perwira berpangkat panji/lurah selaku komandan pasukan;
- prajurit perwira pembawa bendera (dwajadara)
- prajurit perwira yang berpangkat sersan mayor (puliyer/operwahmester/wirawicitra/wirawredhatama) untuk prajurit Ketanggung dan Mantrijero,
- prajurit bintara yang berpangkat sersan (wirawredha)
- prajurit tamtama berpangkat jajar.
Prajurit dengan persenjataan lengkap ada pada Prajurit Nyutra dengan empat jenis senjata: busur panah, senapan, towok (lembing/tombak tumpul) dan tameng, serta tombak tajam (waos). Prajurit lainnya bersenjatakan senapan dan tombak. Prajurit Bugis dan Surakarsa hanya bersenjatakan tombak.[7]
Bregada | Deskripsi | Gambar bendera | Foto | Nama toponimik kampung |
---|---|---|---|---|
Wirabraja | Seragam identitas: Topi berbentuk cabai merah, blangkon motif batik Himakrendha atau wulung, baju sikepan dan celana selutut warna merah, baju dalam putih, sayak rempelan persegi panjang warna putih, lonthong cindhe kembang atau merah polos, dengan kamus hitam memakai timang (gesper), keris warangka branggah, kaus kaki putih selutut, sepatu pantofel hitam.
Nama bendera: Gula Klapa, dipasang pada tombak bernama Kyai Slamet dan Kyai Santri Alat musik: Tambur dan suling Gendhing: Retadhedhali (macak), Dhayungan (mars) |
Wirobrajan[23] | ||
Dhaeng | Seragam identitas: Topi mancungan hitam dengan bulu ayam warna merah dan putih, blangkon wulung, baju sikepan putih dengan strip tebal berwarna merah di lengan dan dada, baju dalam putih, sayak segitiga warna merah lapis 3 bertepi emas (untuk panji dan sersan) atau putih bertepi perak (untuk jajar tombak), lonthong cindhe kembang atau biru polos, dengan kamus hitam memakai timang, selempang buntal warna-warni untuk panji dan pembawa bendera, keris warangka gayaman dan branggah (khusus tombak), celana panjang putih dengan strip merah di samping, sepatu hitam dengan tali.
Nama bendera: Bahningsari, dipasang pada tombak bernama Kyai Jati Mulya/Dhoyok Alat musik: Tambur, suling, pui'-pui', kecer, ketipung-dogdog, bende besar dan bende kecil Gendhing: Kenaba (macak), Ondhal-andhil (mars), Beganjar (penghormatan) |
Daengan[11] | ||
Patang-Puluh | Seragam identitas: Topi songkok hitam, blangkon motif batik udan liris atau wulung (Jajar), baju sikepan dengan motif lurik, baju dalam merah, sayak segitiga warna hijau lapis 3 bertepi emas (untuk panji dan sersan) atau putih bertepi perak (untuk jajar), lonthong cindhe kembang atau merah polos, dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka branggah, celana pendek merah di luar celana panjang putih,sepatu bot hitam.
Nama bendera: Cakragora, dipasang pada tombak bernama Kyai Trisula Alat musik: Tambur, suling, trompet Gendhing: Gendera (macak), Bulu-bulu (mars) |
Patangpuluhan[24] | ||
Jagakarya | Seragam identitas: Topi sigar jangkang hitam, blangkon motif batik celeng kewengen atau wulung, baju sikepan dan celana selutut lurik, baju dalam oranye, sayak rempelan persegi panjang warna putih, lonthong cindhe kembang atau merah polos, dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka branggah, kaus kaki selutut warna hitam keunguan, sepatu pantofel hitam.
Nama bendera: Papasan, dipasang pada tombak bernama Kyai Trisula Alat musik: Tambur, suling, trompet Gendhing: Slahgendir (macak), Tameng Madura (mars) |
Jogokaryan[25] | ||
Prawirotama | Seragam identitas: Topi jangkang wungkul hitam, blangkon wulung, baju sikepan hitam, baju dalam putih, sayak segitiga warna hijau lapis 3 bertepi emas (untuk panji dan sersan) atau putih bertepi perak (untuk jajar), lonthong cindhe kembang atau merah polos, dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka branggah, celana pendek merah di luar celana panjang putih, sepatu bot hitam.
Nama bendera: Geniroga/Banteng Ketaton, dipasang pada tombak bernama Kyai Trisula Alat musik: Tambur, suling, trompet Gendhing: Balang (macak), Pandenbrug (mars) |
Prawirotaman[26] | ||
Nyutra | Seragam identitas: Kuluk hitam (alat musik, panji, prajurit senapan, panji towok) atau udeng gilig (pembawa bendera, prajurit towok, dan prajurit tombak), rompi merah/hitam di luar baju lengan panjang warna kuning, celana panjang merah/hitam, kain kampuh motif bango tulak warna biru dan putih, lonthong cindhe kembang hijau, keris warangka gayaman, memakai sandal kulit dengan tali.
Nama bendera: Podhang ngingsep sari (Nyutra Merah) dan Padma-sri-kresna (Nyutra Hitam), dipasang pada tombak bernama Kyai Trisula Alat musik: Tambur, suling, trompet Gendhing: Mbat-mbat Penjalin/Tamtama Balik (macak), Surengprang (mars) |
Nyutran[27] | ||
Ketanggung | Seragam identitas: Topi mancungan hitam, blangkon wulung, baju sikepan dengan motif lurik, baju dalam putih, sayak segitiga warna hijau lapis 3 bertepi emas (untuk panji dan sersan) atau putih bertepi perak (untuk jajar), lonthong cindhe kembang dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka branggah, celana pendek hitam di luar celana panjang putih, sepatu bot hitam.
Nama bendera: Cakraswandana, dipasang pada tombak bernama Kyai Nanggala Alat musik: Tambur, suling, trompet, bende besar dan kecil, kecer Gendhing: Bima Kurda (macak), Lintrikmas (mars) |
Ketanggungan[28] | ||
Mantrijero | Seragam identitas: Topi songkok hitam, blangkon wulung atau tepen cuwiri (khusus Punakawan Langenhastra), baju sikepan dan celana selutut lurik, baju dalam putih, sayak rempelan persegi panjang warna putih, lonthong cindhe kembang dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka branggah, kaus kaki selutut warna putih, sepatu pantofel hitam.
Nama bendera: Purnamasiddhi, dipasang pada tombak bernama Kyai Cakra Alat musik: Tambur, suling, trompet Gendhing: Slahgunder (macak), Plangkenan dan Mars Setok (mars) |
Mantrijeron[29] | ||
Bugis | Seragam identitas: Topi dandangan, blangkon wulung, baju sikepan dan celana panjang hitam, lonthong cindhe kembang atau kuning, dengan kamus hitam memakai timang, keris warangka gayaman, sepatu pantofel hitam.
Nama bendera: Wulandadari (sebelumnya Katiga-warna) Alat musik: Tambur, pui'-pui', kecer, ketipung-dogdog, bende besar dan bende kecil Gendhing: Indraloka (mars) |
Bugisan[30] | ||
Surakarsa | Seragam identitas: Blangkon motif celeng kewengen, baju sikepan dan celana putih selutut, baju dalam putih, lonthong cindhe kembang, dengan kamus hitam memakai timang, kain batik dengan tata cara pemakaian supit urang, keris warangka branggah, sepatu pantofel hitam.
Nama bendera: Pare Anom (sebelumnya Triwarna) Alat musik: Tambur, suling Gendhing: Tameng Madura dan Barangan (mars) |
Surokarsan[31] |
Surakarta
suntingPakualaman
suntingKeprajuritan Pakualaman memiliki pucuk pimpinan yakni Pandega, yang kemudian membawahi dua bregada. Dua bregada Pakualaman yang sampai sekarang masih aktif adalah bregada Lombok Abang dan bregada Plangkir. Pada saat upacara Grebeg, bregada Lombok Abang berbaris di depan gunungan, sedangkan bregada Plangkir berbaris di belakangnya.[18]
Bregada Lombok Abang dahulu direkrut dari para abdi dalem Gladag yang bertugas mengiringi upacara kematian bangsawan Pakualaman. Mereka kemudian dijadikan bregada yang bertugas mengawal Adipati Paku Alam saat menghadiri acara-acara resmi. Sementara itu, bregada Plangkir diambil dari pasukan infanteri dan kavaleri dari Legiun Pakualaman yang memiliki tugas pertahanan.[32]
Di dalam Pura Pakualaman, kedua prajurit ini melakukan pergiliran jaga setiap 35 hari sekali.[33]
Bregada | Seragam | Foto |
---|---|---|
Lombok Abang | Seragam identitas: Tutup kepala, baju, dan celana berwarna merah.[33]
Senjata: Tombak[34] Alat musik: Tambur, suling, bende, kecer[34] |
|
Plangkir | Seragam identitas: Topi dan baju hitam, celana panjang putih, bersepatu.[33]
Senjata: Senapan[33] Alat musik: Tambur |
Bregada rakyat
suntingPopularitas bregada prajurit keraton di kalangan masyarakat Yogyakarta membuat banyak masyarakat mengkreasikan gaya-gaya keprajuritan, karena memiliki ciri khas tersendiri. Masyarakat umum yang peduli dengan seni keprajuritan gaya Yogyakarta banyak membentuk sebuah bregada kreasi baru, yang dikenal sebagai bregada rakyat. Umumnya bregada rakyat dibentuk di wilayah pedesaan, yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan pelestarian budaya tradisional. Bregada rakyat banyak ditampilkan dalam upacara adat di wilayah pedesaan, seperti merti dusun.[35]
Seiring bertumbuhnya kesatuan-kesatuan yang dibentuk rakyat tersebut, pada 19 Januari 2014, diselenggarakan Festival Bregada Rakyat yang pertama. Festival ini diselenggarakan untuk memperingati Yogyakarta Kota Republik, yang diperingati setiap 4 Januari. Festival ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman. Festival tersebut memberikan total hadiah uang pembinaan sebesar Rp16,6 juta bagi bregada yang berhasil menyabet juara. Penilaian tersebut dilakukan secara langsung baik dari Pura maupun Keraton.[36]
Festival ini rutin diadakan setiap tahun. Untuk mendorong kreativitas bregada rakyat, pada 15 Oktober 2021, Sekber Keistimewaan DIY menggelar pelatihan penciptaan gendhing untuk bregada rakyat. Tujuannya adalah untuk membangun identitas bregada rakyat melalui gendhing yang mereka mainkan.[37] Upaya lanjutan ini juga terjadi pada 11 September 2022 ketika Dinas Kebudayaan DIY menyelenggarakan Workshop Penguatan Wawasan Kebangsaan dan Tata Nilai Budaya bagi Pelaku Seni Keprajuritan Rakyat DIY. Dalam workshop tersebut, setiap bregada bebas mengkreasikan busana, persenjataan, koreografi, aksesori, dan penciptaan gendhing tetapi tidak boleh menyerupai Prajurit Keraton atau Prajurit Pakualaman.[38]
Referensi
suntingKutipan
sunting- ^ Suryadi A.P. 2002, hlm. 76.
- ^ Suwito & Marwito 2009, hlm. 7.
- ^ Bangunjiwa 2015, hlm. 19.
- ^ a b c Ricklefs 2002.
- ^ Suwito & Marwito 2009, hlm. 8.
- ^ Eko Punto Hendro G. 2001, hlm. 47.
- ^ a b c d e f g h i j Suwito & Marwito 2009.
- ^ Margana 2010, hlm. 100-105.
- ^ Carey 2011, hlm. 383-384.
- ^ Majid 2014, hlm. 166-167.
- ^ a b Gupta et al. 2007, hlm. 88.
- ^ Margana 2010, hlm. 102-103.
- ^ a b Suwito & Marwito 2009, hlm. 13-14.
- ^ Poerwokoesoemo 1985, hlm. 236.
- ^ Mahfudhoh 2016.
- ^ Cats 1988.
- ^ Oktorino 2019, hlm. 73.
- ^ a b Suyami 2008, hlm. 73.
- ^ Sabdacarakatama 2009, hlm. 192.
- ^ Condronegoro 1995.
- ^ a b Rintoko 2016.
- ^ Sabdacarakatama 2009, hlm. 192-205.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 419-420.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 434-435.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 240-241.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 286-287.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 272-273.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 422-423.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 239.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 268.
- ^ Sulistyowati & Priyatmoko 2019, hlm. 268-269.
- ^ Abbas 2007, hlm. 35.
- ^ a b c d Kurniawan 2017.
- ^ a b Anugrahanto 2018.
- ^ Utomo S. 2018.
- ^ Jumali 2014.
- ^ Sabandar 2021.
- ^ Listiyo 2022.
Daftar pustaka
sunting- Abbas, Novida (2007-11-11). "Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa". Berkala Arkeologi. 27 (2): 32–39. doi:10.30883/jba.v27i2.951. ISSN 2548-7132.
- Anugrahanto, Nino Citra (2018). "Upacara Pergantian Bregada Pakualaman". Kompas.id. Diakses tanggal 2022-10-07.
- Bangunjiwa, Ki Juru (2015). "Tombak Kangjeng Kyai Baru". Adiluhung. 06: 18–19.
- Cats, B.C. (1988). "Hulpkorpsen in voormalig Nederlands-Indië: hun uniformering en onderscheidingstekenen [1812-1942]". Armamentaria: 149–171.
- Condronegoro, M. (1995). Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta. 2. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
- Carey, P. (2011). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855. 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799103956.
- Eko Punto Hendro G. (2001). Kraton Yogyakarta dalam balutan Hindu (edisi ke-Cet. 1). Semarang: Bendera. ISBN 979-95731-7-3. OCLC 48641592.
- Gupta, Dharma; Handayani, Titi; Harnoko, Darto; Yuliani, Pratiwi; Sumintarsih; Eka Hadiyanta, Ign. (2007). Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya, Kota Yogyakarta.
- Jumali (2014). "50 Kelompok Ikut Festival Bregada Rakyat". Harian Jogja. Diakses tanggal 2022-10-07.
- Kurniawan, Alek (2017). Nursastri, Sri Anindiati, ed. "Mengintip Prosesi Pergantian Prajurit Pura Pakualaman Yogyakarta". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-10-07.
- Listiyo, B. (2022). "Kelompok Seni Keprajuritan Rakyat DIY, Mengikuti Workshop Penguatan Wawasan Kebangsaan dan Tata Nilai Budaya - Sonora.id". www.sonora.id. Diakses tanggal 2022-10-07.
- Mahfudhoh, Annisaul (2016). Dinamika Legiun Pakualaman Pada Masa Paku Alam V Tahun 1872-1892 (Tesis S1). Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/ilmu-sejarah/article/viewFile/5617/5363.
- Margana, S. (2010). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 979-3477-72-5.
- Majid, Dien (2014). Catatan pinggir sejarah Aceh: perdagangan, diplomasi, dan perjuangan rakyat (edisi ke-2). Jakarta. ISBN 978-979-461-855-4. OCLC 883389379.
- Oktorino, Nino (2019). Heiho: barisan pejuang Indonesia yang terlupakan (edisi ke-Cetakan pertama). Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-04-9063-2. OCLC 1110154535.
- Poerwokoesoemo, Soedarisman (K.P.H.) (1985). Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Ricklefs, M.C. (2002). Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749 - 1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. ISBN 979-9471-09-5.
- Rintoko, A. (2016). Akulturasi Dalam Gending Keprajuritan Keraton Yogyakarta (Tesis S1). Institut Seni Indonesia Yogyakarta. http://digilib.isi.ac.id/1988/.
- Sabandar (2021). "Bakal Ada Pelatihan Penciptaan Gending Bregada Rakyat di Yogyakarta, Apa Itu?". Kompas TV. Diakses tanggal 2022-10-07.
- Sabdacarakatama, Ki (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-16810-4-9. OCLC 318053163.
- Sulistyowati, Nur Aini; Priyatmoko, Heri (2019). Toponim Kota Yogyakarta. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI. ISBN 978-623-7092-08-7. OCLC 1137751117.
- Suryadi A.P. (2002). Malioboro: Djokdja Itoe Loetjoe. Yogyakarta: Hanindita. ISBN 979-8849-25-6.
- Suwito, Y.S.; Marwito, Tirun (2009). Prajurit Keraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kota Yogyakarta.
- Suyami (2008). Upacara ritual di Kraton Yogyakarta: Refleksi mithologi dalam budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. ISBN 9789793075266.
- Utomo S. (2018-08-14). "Merti Dusun Lestarikan Budaya Adiluhung". Radar Jogja. Diakses tanggal 2022-10-07.