Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami ... more Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami bahwa aku kaum minoritas, meski Indonesia adalah tempatku dilahirkan, dan satu-satunya negara di mana aku berjanji bersetia. Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang memegang teguh ajaran kebaikan. Kekinian, aku bersekolah di satu SMA Negeri paling favorit di sebuah kota kecil bernama Purbalingga, Jawa Tengah. Aku gemar berorganisasi. Karena itulah, aku selalu aktif dalam bidang organisasi, baik saat SMP maupun kekinian, saat memakai seragam putih abu-abu. Saat masih duduk di bangku SMP, aku pernah menjabat sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di satu SMP swasta. Kala itu mudah bagiku untuk menjadi ketua OSIS. Sebab, di SMP itu, muridnya mayoritas keturunan Tionghoa, sama sepertiku. Selepas SMP dan masuk SMA, tantangan kembali menghampiri diriku. Aku dicalonkan sebagai ketua OSIS SMA negeri paling favorit se-Purwokerto. Berbeda dengan saat SMP, kali ini, di SMA favorit ini, aku minoritas. Sementara hampir semua siswa serta siswinya beragama mayoritas di Indonesia. Aku maju bersama wakilku, teman yang beragama Islam. Sebagai pasangan, kami berdua bersama-sama mempersiapkan semuanya. Kami juga menyiapkan diri agar bisa berorasi di depan massa pemilih, teman-teman kami juga. Orasi pemilihan dan pemungutan suara pemilihan ketua OSIS itu jatuh pada hari Jumat, baru lalu. Meski menjadi rival, mereka berdua merupakan teman dekatku. Keduanya Muslim, sama seperti calon wakilku. Singkat cerita, pokoknya aku dan wakilku mempersiapkan semuanya secara maksimal. Pada hari pelaksanaan, orasiku berhasil mencengangkan dan memeriahkan seluruh warga sekolahku. Banyak yang bilang, orasiku jauh lebih maksimal dan lebih meyakinkan dibanding pasangan calon satunya. Juga dalam sesi debat, aku dan wakilku berhasil memenangkan sawala itu. Kami berhasil menjawab pertanyaan dan membungkam lawan kami. Namun, saat penghitungan suara selesai, aku dan wakilku kalah. Kami mendapat total 500 suara. Sementara rival kami mendapat 650 suara pendukung. Kok? Mengapa bisa demikian? Aku akhirnya berusaha mencari tahu, kenapa kami kalah dalam pemilihan. Akhirnya, salah satu anggota tim suksesku berbicara kepadaku, bahwa teman-teman di kelasnya memilih berdasarkan persamaan agama, bukan kualitasnya. Teman-temannya sadar, bahwa aku lebih berkualitas. Namun, imanku dan iman mereka berbeda katanya. Aku hanya bisa tersenyum dan mengelus dada. Ketika kualitas kalah dengan kuantitas, kata temanku itu. Aku tidak membawa pusing hal tersebut, karena sejak awal tujuanku menjadi calon ketua OSIS bukan untuk menang.
Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami ... more Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami bahwa aku kaum minoritas, meski Indonesia adalah tempatku dilahirkan, dan satu-satunya negara di mana aku berjanji bersetia.
Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami ... more Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami bahwa aku kaum minoritas, meski Indonesia adalah tempatku dilahirkan, dan satu-satunya negara di mana aku berjanji bersetia. Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang memegang teguh ajaran kebaikan. Kekinian, aku bersekolah di satu SMA Negeri paling favorit di sebuah kota kecil bernama Purbalingga, Jawa Tengah. Aku gemar berorganisasi. Karena itulah, aku selalu aktif dalam bidang organisasi, baik saat SMP maupun kekinian, saat memakai seragam putih abu-abu. Saat masih duduk di bangku SMP, aku pernah menjabat sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di satu SMP swasta. Kala itu mudah bagiku untuk menjadi ketua OSIS. Sebab, di SMP itu, muridnya mayoritas keturunan Tionghoa, sama sepertiku. Selepas SMP dan masuk SMA, tantangan kembali menghampiri diriku. Aku dicalonkan sebagai ketua OSIS SMA negeri paling favorit se-Purwokerto. Berbeda dengan saat SMP, kali ini, di SMA favorit ini, aku minoritas. Sementara hampir semua siswa serta siswinya beragama mayoritas di Indonesia. Aku maju bersama wakilku, teman yang beragama Islam. Sebagai pasangan, kami berdua bersama-sama mempersiapkan semuanya. Kami juga menyiapkan diri agar bisa berorasi di depan massa pemilih, teman-teman kami juga. Orasi pemilihan dan pemungutan suara pemilihan ketua OSIS itu jatuh pada hari Jumat, baru lalu. Meski menjadi rival, mereka berdua merupakan teman dekatku. Keduanya Muslim, sama seperti calon wakilku. Singkat cerita, pokoknya aku dan wakilku mempersiapkan semuanya secara maksimal. Pada hari pelaksanaan, orasiku berhasil mencengangkan dan memeriahkan seluruh warga sekolahku. Banyak yang bilang, orasiku jauh lebih maksimal dan lebih meyakinkan dibanding pasangan calon satunya. Juga dalam sesi debat, aku dan wakilku berhasil memenangkan sawala itu. Kami berhasil menjawab pertanyaan dan membungkam lawan kami. Namun, saat penghitungan suara selesai, aku dan wakilku kalah. Kami mendapat total 500 suara. Sementara rival kami mendapat 650 suara pendukung. Kok? Mengapa bisa demikian? Aku akhirnya berusaha mencari tahu, kenapa kami kalah dalam pemilihan. Akhirnya, salah satu anggota tim suksesku berbicara kepadaku, bahwa teman-teman di kelasnya memilih berdasarkan persamaan agama, bukan kualitasnya. Teman-temannya sadar, bahwa aku lebih berkualitas. Namun, imanku dan iman mereka berbeda katanya. Aku hanya bisa tersenyum dan mengelus dada. Ketika kualitas kalah dengan kuantitas, kata temanku itu. Aku tidak membawa pusing hal tersebut, karena sejak awal tujuanku menjadi calon ketua OSIS bukan untuk menang.
Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami ... more Akulah aku. Mataku tidak lebar atau bulat, kulitku putih. Orang-orang bisa secara mudah memahami bahwa aku kaum minoritas, meski Indonesia adalah tempatku dilahirkan, dan satu-satunya negara di mana aku berjanji bersetia.
Uploads
Papers by thoriq xips2